Selasa, 14 Juni 2011

DI BALIK KEHIDUPAN JALANAN


Rere mengangkat setumpuk koran di tangannya. Di atas kepalanya matahaari dengan semangat memanggang bumi dengan panasnya yang terik. Sesekali gadis kecil itu mengelap keringat di keningnya. Hari itu belum banyak koran yang terjual. Padahal, setiap harinya ada target penjualan yang ditentukan dari pihak agen.
“ Koran… koran… koran…!” teriak gadis itu.
Lampu merah berganti hijau. Rere sebal kalau lampu itu berubah warna. Ia menjadi kesulitan menjual koran kalau lampu itu berganti warna dengan cepat. Ia terpaksa menyingkir ke trotoar. Takut kena tabrak oleh kendaraan yang lalu lalang.
Tak seperti biasanya jalanan begitu ramai sekali. Mungkin karena hari ini Minggu, jadi banyak keluarga yang bepergian bersama, pikir Rere. Memikirkan hal itu, bibir tipis Rere hanya menyunggingkan senyum kecut. Kalau mau bepergian artinya ia butuh uang dan ia tidak punya.
Gadis kecil itu menyusuri trotoar. Hidung kecilnya mengernyit sedikit mencium aroma got. Bagi Rere walaupun umurnya baru 11 tahun, namun aroma itu sudah makanan sehari-harinya.
“ Koran… koran.. koran…!” teriak Rere lagi.
Rere mencoba menawarkan dagangannya walau bapak-bapak atau ibu-ibu yang sedari tadi ia tawari koran hanya berjalan menjauhinya tanpa berpaling. Wajar saja banyak yang menjauhinya karena Rere begitu dekil dan bau. Keringatnya memancarkan aroma yang tidak sedap. Perlahan-lahan ia mulai merasakan tenggorokannya kering, rindu akan kesegaran air yang sedari pagi belum ia rasakan. Gadis kecil itu beristirahat sejenak mencari tempat untuk berteduh. Tiba-tiba pandangan Rere tertuju pada sesuatu yang tergeletak di atas sebuah meja. Beberapa detik yang lalu seorang ibu-ibu meninggalkannya begitu saja. Rere celingak-celinguk melihat keadaan sekitar. Tidak ada orang, tidak ada yang memperdulikannya. Rere senang sekali. Jarang-jarang ia mengalami keberuntungan seperti ini. Maka dengan gesit ia menyambar apa yang tadi diincarnya.
Senyum Rere mengembang dengan lebar seperti  habis menang undian. Mungkin orang-orang akan heran melihat hal itu. Tapi saat ini mungkin tidak ada yang bisa melebihik kepuasaan dalam diri Rere. Mungkin memenangkan undian akan sangat menyenangkan, tapi untuk saat ini menang undian bukanlah prioritas di kepala gadis kecil itu.  Dengan tersenyum lebar, Rere duduk. Ia menaruh koran-koran dagangannya di sebelahnya. Memandang hasil temuannya dengan bangga. Untung saja itu hanya terbuat dari plastik, maka Rere tak terlalu merasa berdosa mengambilnya. Toh ibu tadi tidak memerlukannya lagi. Jadi kenapa tidak, kalau Rere ambil saja untuk sekedar memuaskan dahaganya? Apalagi air jeruk ini masih setengah penuh. Apalagi yang dilakukan pemilik warung tadi selain membuangnya? Itu kan sayang sekali. Bukankah Rere lebih baik mengambilnya?
Rere meneguk air jeruk itu perlahan-lahan. Takut rasa manis di mulutnya akan segera menghilang. Telinganya menangkap bunyi gemericik air. Itu pasti dari aliran sungai di bawahnya. Waktu itu Rere pernah melepas seekor ikan mas kecil disitu. Bagaimana kabarnya sekarang ya? Mungkin ia sudah melanglang buana ke negeri seberang sekarang, pikir Rere sembari meneguk es jeruknya untuk keduakalinya.
Rere senang sekali  seperti menemukan air di padang pasir. Tenggorokannya dingin sekarang, dahaganya perlahan-lahan sirna. Rere bahagia, puas, dan senang. Sebuah mobil mewah lewat di depannya. Sekilas Rere melihat seorang anak perempuan seumurannya duduk di jok belakang. Pandangnnya mengarah keluar jendela.
Ha….ha….ha…., tawa Rere dalam hati. Timbul sedikit rasa kasihan dalam diri Rere. Lihatlah anak perempuan itu. Apa enaknya duduk di dlam kotak berjalan itu. Pasti anak itu tidak pernah merasakan apa yang Rere pernah rasakan. Namun terkadang terpikir dalam benaknya andai ia yang ada di dalam sana. Tak lagi dirasakannya debu-debu kotor melekat sepanjang hari di kulit sawo matangnya.
“ Plukk..,,!!”
Secarik kertas menampar mukannya. Walaupun tidak begitu keras namun dapat membangunkannya dari lamunannya. Ternyata, kertas itu berasal dari anak yang ada di dalam mobil mewah tadi. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sudah biasa menghadapi kerasnya kehidupan di kota besar. Dan hal tadi bukanlah apa-apa.
“Sroot… sroot..!”
Ia  menghabiskan sisa minumannya dengan cepat. Rere merasakan bahwa tenaganya sudah pulih kembali. Ia pun beranjak dari tempat itu dan kembali bekerja.
Hari mulai sore, mmatahari mulai bersembunyi di ufuk barat. Rasa lelahnya terasa memuncak.
“ Rereeeeee…!”
Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namanya. Ternyata yang memanggil adalah Bibinya. Orang yang selama ini merawatnya, setelah kedua orangtuanya meninggal. Tampak keranjang yang sudah kosong di pergelangan tangannya. Wajahnya sumringah menyambut Rere. Tersirat jelas kegembiraan di wajah Bibinya dan Rere tahu, ekspresi Bibinya berarti kue-kue jualannya telah habis terjual.
“ Puji Tuhan… dagangan kita laris hari ini, Nak,” kata Bibi dengan senyum mengembang.
“ Wah… asik..asik berarti kita bisa nabung, Bi.Horee..,,” kata Rere yang kegirangan.
“ Iya, Nak. Jadi kamu nggak kesusahan bayar sekolahmu lagi,” kata Bibinya.
Rere menghambur memeluk Bibinya dengan hangat. Tak terasa air mata menetes di pipi Bibinya yang sudah memancarkan kelelahan. Suasana kehangatan mereka bagaikan ibu dan anak.

*****
Rere melakukan aktivitasnya seperti biasa, berdagang koran di tengah hiruk pikuk jalan raya. Ia melepas lelah di halte bus yang sudah sepi. Tiba-tiba tiga anak nakal menggangunya. ‘
“ Eh, anak kecil. Mana bagian kita?” bentak salah satu dari anak itu dengan ketus.
“ Bagian apaan?” kata Rere tak kalah ketus.
“ Ya bagian duit kita lah! Dasar bego!” ujar mereka.
“ Yee.., ini kan duit aku! Aku capek tahu jualan koran. Kalau kalian mau duit ya kerja dong..! jawab Rere.
“ Peduli amat! Cepat serahin! Teriak mereka.
“ Nggak mau!!” teriak Rere.
Akhirnya terjadi peristiwa tarik-menarik tas antara Rere dengan anak-anak nakal itu.  Sebuah mobil mewah melintas dengan pelan-pelan  di dekat mereka dan perlahan berheni di dekat mereka. Tiba-tiba supir itu turun dan menghentikan aksi mereka.
“ Hei,,!! Sudah.. sudah! Hentikan! Pergi kalian dari sini. Jangan menggangu anak ini lagi,” teriak supir itu dengan memasang wajah yang sangar.
Kontan anak-anak itu lari terbirit-birit karena ketakutan. Turunlag seorang gadis kecil seumuran Rere dari mobil mewah tersebut, kemudian menghampiri Rere dan bertanya “ Kamu tidak apa-apa kan?”
Rere dengan perlahan-lahan mendongakkan kepalanya dan memandang wajah gadis tersebut..
“ Ohh…,,. Saya tidak apa-apa,” jawab Rere. Rere seperti pernah melihat gadis itu. Tapi ia lupa kapan dan dimana.
“ Namaku Vanya, nama kamu siapa?” tutur anak kecil itu.
“ Namaku Rere,” jawab Rere.
“ Kamu mau pulang kan?” tanya Vanya lagi.
“ Iya,” jawab Rere.
“ Gimana kalau kamu aku antar pulang. Siapa tahu anak nakal yang tadi masih menunggumu.” Ujar Vanya.
“ Ta…. ta…. Tapi…..,” jawab Rere.
 “ Udah, nggak apa-apa kok,” kata Vanya.
Akhirnya Rere pulang bersama Vanya. Setelah kejadian itu, Rere menyadari bahwa tak semua orang kaya berhati jahat. Contohnya saja Vanya. Dia adalah salah satu dari segelintir orang kaya berbudi luhur. Semenjak itu mereka sering bermaain bersama dan menjadi sahabat karib. Perbedaan status bukanlah suatu penghalang untuk membangun persahabatan yang kokoh.
SELESAI